PAPER
DISESTER
NURSING
PERMASALAHAN
PSIKOSOSIAL PADA PENGUNGSI
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah disester nursing kelas A15.1
Dosen
Pembimbing : Dr.
Meidiana Dwidiyanti, S.Kp., M.Sc
Disusun
oleh :
Iffah Nur Amalia 22020115120022
Naela Zulfa 22020115120025
Tiffani Erlita Sari 22020115130091
Verawati 22020115130085
Naela Zulfa 22020115120025
Tiffani Erlita Sari 22020115130091
Verawati 22020115130085
PROGRAM
STUDI ILMU KEPERAWATAN
DEPARTEMEN
KEPERAWATAN
FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
SEMARANG
2016
A.
Gangguan Stress Akut
Gangguan Stres Akut (Acute Stress Disorder/ASD) adalah sebuah kondisi psikologis yang timbul
sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang mengerikan, hasil dari sebuah
peristiwa traumatis di mana
seseorang mengalami atau
saksi suatu peristiwa
yang menyebabkan korban/saksi
untuk mengalami ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan
kadang-kadang rasa sakit)
dan yang melibatkan
atau mengancam serius,
dirasakan cedera serius (biasanya kepada orang lain),
atau kematian. Gangguan stres akut
adalah variasi dari Post-Traumatic
Stress Disorder (PTSD) dan adalah pikiran dan tubuh terhadap perasaan (baik
yang dirasakan dan nyata) yang intens ketidakberdayaan (Idrus, 2016).
Beberapa peristiwa besar yang terjadi atau yang dialami dalam
kehidupan seseorang, baik peristiwa yang me-nyenangkan maupun yang menimbulkan
perasaan yang tidak menyenangkan, akan memberikan perubahan pada kehidupan
individu sebagai akibat yang dialaminya. Perubahan-perubahan tersebut dapat
me-nimbulkan stres. Stres yang dialami dapat menimbulkan adanya tekanan atau
tuntutan yang dialami individu agar ia beradaptasi atau menyesuaikan diri.
Stres berimplikasi secara luas pada masalah-masalah fisik maupun psikologis.
Efek dari stres dapat menimbulkan gangguan penyesuaian yang menyangkut reaksi
maladaptif terhadap stres. Pada gangguan penyesuaian, individu mempunyai
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan
stresor dalam hidup. Kondisi
tersebut dapat menimbulkan gangguan stres akut (acute stressdisorder/ASD). ASD
adalah suatu reaksi maladaptif yang terjadi pada bulan pertama sesudah
pengalaman traumatis. ASD penekanannya ada
pada disosiasi, yaitu perasaan asing terhadap diri sendiri atau terhadap
lingkungannya. Individu yang mengalami gangguan stres akut mungkin merasakan
dunia ini seolah-olah sebagai suatu tempat dalam mimpi atau suatu tempat yang
tidak nyata. Dalam gangguan stres akut (ASD), individu mungkin juga tidak dapat
melaksanakan tugas-tugas yang perlu, seperti misalnya mendapatkan bantuan medis
atau bantuan hukum yang diperlukan (Nevid, 2005 seperti dikutip dalam
Nawangsih, 2014).
Kriteria diagnostik untuk gangguan stres akut (ASD) berdasarkan
Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-Revised (DSM III-R),
dapat memperlihatkan kondisi traumatik sese-orang adalah sebagai berikut :
- Orang yang terpapar dengan suatu kejadian traumatik, dimana kedua dari ciri berikut ini dapat ditemukan, yaitu orang yang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan kejadian yang berupa ancaman kematian atau kema-tian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain, atau respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu dihantui perasaan takut yang berlebihan.
- Merupakan salah satu keadaan dari ketika seseorang mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan, maka individu akan memiliki tiga atau lebih gejala diso-siatif yang berupa perasaan subyektif kaku, tidak ada responsivitas emosi, penurunan kesadaran sekelilingnya,derealisasi, depersonalisasi, amnesia disosiatif (tidak mampu mengingat aspek penting dari trauma).
- Kejadian traumatik yang secara ber-tahap dialami kembali dalam seku-rangnya salah satu dari trauma yang berupa bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang berulang-ulang atau suatu perasaan pengalaman hidup yang muncul kem-bali, pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengan pengingat kejadian traumatik.
- Penghindaraan pada stimuli yang me-nyadarkan rekoleksi trauma (pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tem-pat, orang).
- Gejala kecemasan yang nyata atau peningkatan kesadaran (kewaspadaan berlebihan, sulit tidur, iritabilitas, konsentrasi buruk dan kegelisahan motorik).
- Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, peker-jaan atau fungsi penting lain mengganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diper-lukan atau menggerakkan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman traumatik.
- Bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat (obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat.
Penatalaksanaan
gangguan stress akut :
1. Terapi
Farmakologi
Terapi
farmakologi merupakan suatu jenis terapi yang menggunakan obat-obatan yang
berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neurotransmiter disusunan syaraf pusat
otak yakni sistem limbik. Sebagaimana diketahui sistem limbik merupakan bagian
otak yang berfungsi mengatur alam pikiran, alam perasaan dan perilaku
seseorang. Obat yang sering dipakai adalah obat anti cemas (axiolytic) golongan
benzodiazepine seperti diazepam, lorazepam, alprazolam dan anti depresi (anti
depressant) golongan SSRI seperti fluoxetine, sertraline (Zoloft).
2. Psikoterapi
a) Pendekatan
perilaku
Pendekatan
perilaku dilakukan dengan mengubah perilaku yang menimbulkan stress akut,
toleransi atau adaptabilitas terhadap stress akut yang dialami, menyeimbangkan
antara aktivitas fisik dan nutrisi, serta manajemen perencanaan, organisasi dan
waktu.
b) Pendekatan
Kognitif
Pendekatan
kognitif merupakan pendekatan yang bertujuan untuk mengubah pola pikir individu
agar berpikir positif dan sikap yang positif, membekali diri dengan pengetahuan
tentang stres, serta menyeimbangkan antara aktivitas otak kiri dan kanan.
Pendekatan kognitif bisa juga dilakukan dengan menggunakan metode hipnoterapi.
c) Metode
Coping Stres
Menggunakan
Teknik Relaksasi Relaksasi dilakukan dengan tujuan untuk melepaskan semua
ketegangan-ketegangan yang selama ini dialami oleh individu. Relaksasi yang
dilakukan bisa berupa relaksasi otot-otot, relaksasi kesadaran indra dan
relaksasi pikiran-pikiran.
B. PTSD
PTSD (Post Traumatic
Stress Disorder)
1.
Definisi PTSD
Gangguan stres pasca trauma atau
disingkat dengan trauma psikologis merupakan istilah lain dari Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD). Pada tahun 1980, untuk pertama kalinya ciri-ciri
sindroma trauma psikologis yang dialami oleh para veteran perang Vietnam
diterima sebagai suatu diagnosa oleh American Psychiatric Association dengan
sebutan Post Traumatic Stress Disorder dan dimasukkan dalam buku pedoman
gangguan mental Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM
(Yule dkk., 1999; Parkinson, 2000; Nurrachman, 2002 dalam Sulistyaningsih,
2009).
Pengertian PTSD dapat dipahami dari
definisi yang ditetapkan oleh National Center for Post Traumatic Stress
Disorder (NCPTSD), yaitu suatu gangguan psikiatris yang terjadi setelah
dialaminya peristiwa yang mengancam seperti menyaksikan kejadian-kejadian serangan
militer, bencana alam, serangan teroris, kecelakaan serius, atau serangan
kekerasan lainnya seperti pemerkosaan. Orang yang terkena gangguan PTSD sering
mengalami kembali kejadian-kejadian melalui mimpi buruk atau bayangan kilas
balik, sulit tidur, dan merasa terpisah atau terasing. Gejala-gejala ini dapat
berlangsung lama serta bertambah berat sehingga akan mengganggu kehidupan
sehari-hari orang tersebut (Sulistyaningsih, 2009).
Menurut Zlonick dkk. (2001 dalam Chandra,
2009), Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan reaksi maladaptif yang
berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. PTSD kemungkinan bertahan
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah pengalaman traumatis dan
mungkin tidak muncul sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah adanya
pemaparan terhadap peristiwa traumatis (Nevid J dkk., 2002 dalam Chandra,
2009). Pengaruh trauma dan kejadian traumatik yang berkelanjutan yang dialami
individu akan memicu terjadinya stress, sebab dalam suatu kejadian traumatik
banyak terdapat stressor sebagai pemicu stress dan jika dialami berkepanjangan
akan menimbulkan gangguan stress pasca-trauma merupakan reaksi berkepanjangan
dari trauma yang dialami individu (Smet, 1994). Hasil surveyyang ada
menunjukkan bahwa 20% individu yangmengalami peristiwa traumatik akan mengalami
PTSD (van Etten & Taylor, 1998).
Hal serupa diungkapkan oleh Darmono
S dkk. (2008 dalam Chandra, 2009) bahwa PTSD merupakan salah satu gangguan
kejiwaan berat yang sangat mengganggu kualitas hidup dan apabila tidak
ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis atau menahun dan berkembang
menjadi stres pasca trauma yang kompleks. Sadock & Sadock (2007),
menyebutkan bahwa PTSD dapat berlangsung sampai dengan jangka waktu 30 tahun.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan, PTSD merupakan gangguan kejiwaan
akibat mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis yang mengancam
keselamatan hidup seseorang dimana gejalanya dapat berlangsung lama dan
bertambah berat, sehingga berdampak pada kualitas hidup seseorang.
2. Penyebab
Terjadinya PTSD
Stresor atau peristiwa traumatik
adalah penyebab utama dalam perkembangan Post Traumatic Stress Disorder
(Schiraldi, 2000; Sadock & Sadock, 2007). Stresor ini dapat bersumber dari
bencana alam atau peristiwa yang melibatkan peran manusia. Peristiwa yang
bersumber dari bencana alam dapat berupa gempa bumi, banjir, badai, tanah
longsor dan berbagai macam bencana alam lainnya. Sedangkan peristiwa kekerasan
yang melibatkan peran manusia dan dapat menimbulkan trauma, yaitu perang,
kejahatan politik, penculikan, kejahatan kriminal, pemerkosaan, kekejaman dalam
rumah tangga dan berbagai bentuk kekejaman lainnya (Sulystyaningsih, 2009).
Menurut Sadock & Sadock (2007),
tidak semua orang akan mengalami PTSD setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun
stresor diperlukan, namun stresor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan.
Respon terhadap peristiwa traumatik harus melibatkan rasa takut intens atau
horor. Selain itu, perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain yang sudah ada
sebelumnya pada diri individu seperti, faktor biologis, faktor psikososial dan
peristiwa yang dialami individu sebelum dan sesudah trauma.
a. Psychodynamic
factors.
Ego klien telah mengalami trauma
berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep
diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego
dan dimanifestasikan dalam bentuk prilaku simtomatik. Karena ego menjadi
rentan, super ego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah
terhadap kejadian traumatik tersebut. Id dapat menjadi dominan, menyebabkan
perilaku impulsif tidak terkendali (Yosep, 2011).
Menurut Sadock & Sadock (2007), faktor
psikodinamika PTSD diantaranya, yaitu:
1) Peristiwa traumatik tersebut
mengingatkan individu terhadap peristiwa traumatis masa lalunya;
2) Ketidakmampuan untuk meregulasi pengaruh yang
disebabkan oleh trauma;
3) Somatisasi dan alexithymia mungkin menjadi
salah satu efek samping dari trauma;
4) Kurangnya kemampuan mekanisme
pertahanan (penolakan, kurangnya pemecahan masalah, pengingkaran, disosiasi,
dan rasa bersalah);
5) Keterhubungan/seberapa dekat
hubungan antara pelaku kejadian trauma seperti penolong, pelaku dan korban.
b.
Cognitive-Behavioral factors.
Dari segi kognitif, orang-orang
yang terkena dampak PTSD tidak dapat memproses atau merasionalisasikan kejadian
trauma yang dialami. Mereka terus mengalami stres dan berusaha untuk
menghindari sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Dari segi model
perilaku (behavioral), PTSD menekankan dua fase dalam perkembangannya. Pertama,
melalui classic conditioning dimana trauma/peristiwa traumatis menimbulkan
respons ketakutan yang berpasangan dengan stimulus (pemandangan, bau, suara,
tempat) yang berkaitan dengan peristiwa tersebut sehingga dapat memicu
reaksi-reaksi fisiologis ataupun psikologis. Kedua, terjadi sebagai hasil
pembelajaran dari kejadian trauma yang dialaminya dimana individu mengembangkan
pola perilaku menghindar terhadap stimulus yang berkaitan dengan trauma (Sadock
& Sadock, 2007).
c. Biological
factors.
Berdasarkan hasil penelitian
ditemukan bahwa pada beberapa penderita PTSD terjadi hiperaktivitas dari
noradrenergic, endogenous opiate systems serta hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA). Selain itu, ditemukan adanya peningkatan aktivitas dan respons dari
sistem saraf otonom seperti peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan
gangguan tidur (Sadock & Sadock, 2007).
3. Faktor
Resiko PTSD
Ketika
dihadapkan dengan trauma yang luar biasa, kebanyakan orang bisa saja tidak
mengalami gejala PTSD. Namun sebaliknya peristiwa atau kejadian biasa dapat
menimbulkan gejala PTSD pada sebagian besar orang. Hal ini disebabkan oleh
adanya faktor resiko yang berperan apakah seseorang akan mendapatkan PTSD atau
tidak. Faktor-faktor resiko tersebut, yaitu: adanya trauma masa kecil,
seseorang yang memiliki gangguan kepribadian (seperti: borderline, paranoid,
ketergantungan atau anti-sosial), sistem dukungan dari keluarga atau teman
sebaya yang tidak memadai, jenis kelamin: perempuan, kerentanan genetik
terhadap penyakit jiwa, perubahan kehidupan yang penuh dengan stres/tekanan,
persepsi locus of control eksternal dan asupan alkohol yang berlebihan (Sadock
& Sadock, 2007).
4. Gejala
PTSD
Secara
umum gejala-gejala yang sering dialami korban PTSD adalah sebagai berikut:
a.
Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan
peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, ada flashback (merasa
seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi
buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan
fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang
menyedihkan
b. Penghindaran stimuli yang
diasosiasikan dengan pengalaman traumatik atau mati rasa dalam responsivitas.
Seseorang yang mengalami trauma menghindari untuk berpikir tentang trauma atau
tentang stimulus yang mengingatkan pada kejadian tersebut. Mati rasa adalah
menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan
ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif.
c. Ketegangan yang meningkat,
ditunjukkan dengan susah tidur atau mempertahankan tidur, mudah marah atau
tidak dapat mengendalikan marah, sulit berkonsentrasi, kewaspadaan yang
berlebih, respon kejut yang berlebihan atas segala sesuatu (Nevid,2005
Sedangkan
kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatrauma (PTSD), berdasarkan
Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-Revised (DSM III-R),
dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang adalah sebagai berikut :
a. Orang yang mengalami peristiwa
luar biasa, dan dirasa amat menekan semua orang. Peristiwa traumatik itu secara
menetap dapat dialami melalui cara teringat kembali peristiwa secara berulang
dan sangat mengganggu, mimpi yang berulang tentang peristiwa yang membebani
pikiran, perasaan atau tindakan mendadak seolaholah peristiwa traumatik itu
terjadi lagi, tekanan jiwa yang amant sangat karena terpaku pada peristiwa yang
melambangkan atau menyerupai traumatiknya.
b. Pengelakan yang menetap terhadap
rangsang yang terkait dengan trauma atau kelumpuhan yang bereaksi terhadap
situasi umum (yang tidak ada sebelum trauma itu). Keadaan ini paling tidak
dapat ditunjukkan dengan sedikitnya 3 (tiga) dari keadaan yang berupa: upaya
untuk mengelak terhadap gagasan atau perasaan yang terkait dengan trauma itu,
upaya untuk mengelak dari kegiatan atau situasi yang menimbulkan ingatan
terhadap trauma itu, ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek yang penting
dari trauma, minat yang sangat berkurang terhadap kegiatan yang penting, rasa
terasing dari orang lain, kurangnya afeksi, dan merasa tidak mempunyai masa
depan.
c. Gejala meningginya kesiagaan yang menetap
(tidak ada sebelum adanya trauma) dengan ditunjukkan oleh 2 (dua) dari gejala :
sulit masuk fase tidur atau mempertahankan tidur yang cukup, iritable atau
mudah marah, sulit berkonsetrasi, amat siaga, reaksi kejut (kaget) yang
berlebihan, reaksi rentan faali saat menghadapi peristiwa yang melambangkan
atau menyerupai aspek dari peristiwa traumatik.
d. Jangka waktu gangguan itu
(gejala pada kriteria ke-2, ke-3 dan ke-4) sedikitnya 1 bulan.
Gangguan PTSD yang dialami individu
akan berdampak pula pada kehidupan sosial. Hal ini dapat dilihat sebagai
berikut :
a. Panic attack (serangan panik)
Khususnya pada anak atau remaja
yang mempunyai pengalaman trau-matik dapat mengalami serangan panik ketika
dihadapkan atau menghadapi pada sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma.
Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak nyaman
yang menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung
berdebar-debar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut,
merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
b. Perilaku menghindar
Salah satu gejala PTSD adalah
menghindari halhal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis.
Kadang-kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam kehidupannya setiap
hari dengan trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma
yang pernah dialami. Hal ini sering menjadi lebih parah sehingga penderita
menjadi takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus
ke luar rumah.
c. Depresi
Banyak orang menjadi depresi
setelah mengalami peng-alaman traumatik dan menjadi tidak tertarik dengan
hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Penderita mengembangkan
perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri dan
merasa bahwa peristiwa yang dialaminya merupakan kesalahannya, walaupun semua
itu tidak benar.
d. Memiliki pemikiran negatif
Kadang-kadang orang yang sedang mengalami
depresi merasakan bahwa kehidupannya sudah tidak berharga. Hasil penelitian
menjelaskan bahwa 50% korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri.
e. Merasa
diri disisihkan
Penderita PTSD memerlukan dukungan dari
lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan terpisah.
Perasaan yang demikian tersebut, umumnya penderita mengalami kesulitan untuk
berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan per-tolongan. Penderita sulit
untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang ia telah alami.
f. Merasa
dirinya tidak percaya dan perasaan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang
menyedihkan, penderita mungkin kehilangan kepercayaan pada terhadap orang lain
dan merasa dikhianati atau ditipu oleh lingkungan disekitarnya, atau oleh nasib,
atau oleh Tuhan. Perasaan marah dan mudah tersinggung.
Marah dan mudah tersinggung adalah
reaksi yang umum diantara penderita trauma. Marah adalah suatu reaksi yang
wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat
mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi
dengan orang lain.
g. Gangguan
yang berarti dalam kehidupan sehari-hari
Beberapa penderita PTSD mempunyai
beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah
dalam jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin
menjadi sangat takut untuk ditinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan
kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan
perawatan pada penderita sangat penting agar permasalahan tidak berkembang
lebih lanjut.
h. Persepsi
dan kepercayaan yang aneh
Adakalanya seseorang yang telah
mengalami trauma yang menyakitkan, seringkali untuk sementara dapat
mengembangkan ide atau persepsi yang aneh, misalnya percaya bahwa dirinya bisa
melihat atau berkomunikasi dengan orang-orang yang sudah meninggal. Walaupun
gejala ini menakutkan, menyerupai halusinasi dan hayalan, gejala ini bersifat
sementara dan dapat hilang dengan sendirinya.
5. Kriteria
Diagnosik PTSD
Mengacu kepada Diagnostic and
Statistical Manual for Mental Disorder, 4th edition Text Revision (DSM-IV-TR)
yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association, menjelaskan tanda dan
gejala PTSD yang mencakup:
a. Individu harus pernah terpapar
pada suatu stresor/peristiwa traumatik dimana kedua hal berikut dialami:
1) Seseorang yang mengalami,
menyaksikan, atau menghadapi bahaya yang mengancam hidupnya, kematian, luka
parah, atau ancaman serius bagi diri sendiri atau orang lain.
2) Respon
individu meliputi ketakutan, ketidakberdayaan (catatan: pada anak-anak hal ini
mungkin diperlihatkan dalam perilaku yang tidak teratur atau berantakan dan
tidak tenang atau gelisah).
b. Mengalami kembali peristiwa
traumatis (re-experiencing symptoms) melalui satu atau lebih gejala di bawah
ini:
1) Teringat kembali akan kejadian
trauma menyedihkan yang dialaminya yang bersifat mengganggu, berupa gambaran,
pikiran, persepsi (catatan: pada anak-anak hal ini dimunculkan kembali pada
permainan).
2) Mimpi buruk yang berulang
tentang peristiwa trauma yang dialaminya (catatan: pada anak-anak terdapat
mimpi yang menakutkan tanpa adanya isi yang dapat diketahui maksudnya).
3) Mengalami kilas balik trauma
(merasa seakan kejadian trauma yang dialaminya terjadi kembali, ilusi,
halusinasi) (catatan: pada anak-anak kejadian traumatis secara spesifik dapat
terlihat).
4) Tekanan psikologis yang kuat
jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang menyerupai kejadian
traumatis.
5) Adanya reaksi
fisik jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang menyerupai
kejadian traumatis.
c.
Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan
mematikan perasaan atau tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma masih
berespon (avoidance symptoms). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah
ini:
1) Kemampuan untuk menghindari
pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma.
2) Kemampuan menghindari aktivitas,
tempat, orang yang dapat membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang
dialaminya.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek
penting dari peristiwa trauma yang dialaminya.
4) Ketertarikan dan minat untuk
berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang.
5) Merasa terasing dari orang di
sekitarnya.
6) Terbatasnya rentang emosi (
contoh: tidak dapat merasakan cinta)
7) Perasaan bahwa masa depannya
suram (misalnya, berkurangnya harapan untuk dapat menjalani hidup dengan
normal, menikah, memiliki karir, memiliki anak).
d. Gejala hiperarousal yang
persisten (tidak ada sebelum trauma) meliputi dua atau lebih gejala di bawah
ini:
1) Sulit untuk memulai tidur/ sulit
mempertahankannya.
2) Mudah marah dan meledak-ledak
emosinya.
3) Sulit berkonsentrasi.
4) Hypervigilance (kewaspadaan yang
berlebihan).
5) Reaksi kaget yang berlebihan.
6.
Jenis-Jenis PTSD
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) terbagi atas
tiga jenis, yaitu:
a. PTSD akut, yaitu dimana tanda
dan gejalanya terjadi pada rentang waktu 1-3 bulan. Namun, biasanya berakhir
dalam kurun waktu satu bulan. Jika dalam waktu lebih dari satu bulan, individu
tersebut harus segera menghubungi pelayanan kesehatan terdekat;
b.
PTSD kronik, yaitu dimana tanda dan gejalanya berlangsung lebih dari
tiga bulan dan jika tidak ada treatment yang dilakukan maka dapat bertambah
berat sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari orang tersebut;
c.
PTSD with delayed onset, walaupun sebenarnya tanda dan gejala PTSD
muncul pada saat setelah trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya baru muncul
minimal enam bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatik itu
terjadi. Hal ini timbul pada saat memperingati hari kejadian traumatis tersebut
atau bisa juga karena individu mengalami kejadian traumatis lain yang akan
mengingatkan dia terhadap peristiwa traumatis masa lalunya (APA, 2000; Sadock
& Sadock, 2007; Ross, 1999 dalam Erwina, 2010).
7.
Penanganan PTSD
Penanganan bagi individu yang mengalami PTSD
adalah psikoterapi, obatobatan atau kombinasi keduanya. Setiap individu
berbeda, sehingga pengobatan yang bekerja untuk satu orang mungkin tidak
bekerja bagi orang lain. Beberapa orang perlu mencoba melakukan perawatan yang
berbeda untuk menemukan mana yang dapat mengurangi gejala yang dialami (NIMH,
2008). Psikoterapi merupakan suatu terapi “bicara” yang dilakukan oleh seorang
profesional kesehatan mental untuk mengobati penyakit mental. Psikoterapi dapat
dilakukan pada individu atau secara berkelompok yang biasanya berlangsung 6-12
minggu atau lebih.
Adanya dukungan dari keluarga
maupun teman terdekat merupakan bagian penting selama terapi dilakukan. Salah satu
bentuk psikoterapi yang dianggap lebih efektif untuk mengatasi PTSD, yaitu
Cognitive Behavior Therapy (CBT) (NIMH, 2008). CBT merupakan suatu bentuk
psikoterapi yang menekankan pentingnya peran pikiran yang dapat mempengaruhi
alam perasaan dan perilaku individu (Sulystyaningsih, 2009). Bentuk-bentuk
Cognitive Behavior Therapy (CBT), yaitu:
a. Exposure therapy, merupakan
terapi yang membantu orang menghadapi dan mengendalikan rasa takut mereka.
Bentuk terapi ini menggunakan imaginasi tentang trauma, menulis atau
mengunjungi tempat dimana peristiwa itu terjadi yang disajikan secara
hati-hati, berulang, dan terinci dalam situasi yang aman dan terkontrol;
b. Cognitive restructuring,
merupakan terapi yang membantu orang memahami kenangan buruk. Terkadang mereka
mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka.
Terapis membantu orang dengan PTSD 30
melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis;
c. Stress inoculation training,
merupakan terapi yang mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan mengajarkan
cara mengontrol ketakutan dan kecemasan yang dialami, seperti mengajarkan
teknik relaksasi (NIMH, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Catani pada tahun
2009 (dalam Tumanggor, 2013) pada anak-anak korban tsunami di Srilangka, menyebutkan
exposure therapy dan meditation relaxation dapat dilakukan pada anak-anak
dengan latar belakang bencana yang sama. Anak-anak yang terlibat dalam
penelitian ini diajarkan dan dilatih meditasi-relaksasi dengan teknik
pernapasan. Meditasi-relaksasi ini dapat dipraktekkan di rumah dengan dukungan
orang tua.
Pilihan alternatif lain yang dapat
dilakukan untuk mengobati anak-anak dengan PTSD, yaitu: mengajarkan strategi
atau cara mengontrol kecemasan misalnya, relaksasi pernapasan, bermain peran,
pendidikan dan beberapa teknik distraksi. Penelitian oleh Carrion dkk. tahun
2002 dan Scheeringa tahun 2006 (dalam Tumanggor, 2013), menyarankan psikoterapi
juga diberikan untuk anakanak yang tidak memenuhi kriteria PTSD, namun
mengindikasikan atau menunjukkan adanya gangguan dan penurunan fungsional. Hal
ini penting untuk mencegah anak-anak mengembangkan gangguan tersebut menjadi
lebih berat.
Untuk pengobatan atau psikofarmaka,
menurut Sadock & Sadock (2007) dan NIMH (2008) ada beberapa jenis
pengobatan yang dapat digunakan untuk penderita PTSD, yaitu:
a. Selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRIs) seperti Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil), dianggap
sebagai pengobatan lini pertama yang efektif untuk mengurangi gejala-gejala
PTSD. Kedua obat ini merupakan anti-depresan yang juga digunakan untuk
mengobati depresi. Efek samping yang mungkin ditimbulkan seperti sakit kepala,
mual, sulit tidur dan agitasi;
b. Imipramin (Tofranil) dan
Amitriptyline (Evavil), merupakan antidrepesant trisilik untuk pengobatan PTSD.
Namun anti-depresan ini tidak merupakan pilihan utama karena memiliki banyak
efek samping dibandingkan dengan anti-depresan lainnya;
c. Obat-obatan lain yang dapat
digunakan, yaitu: 32 monoamine oxidase
inhibitors (MAOIs) (seperti Phenelzine [Nardil]), Trazodone (Dsyrel), dan
anti-convulsants (seperti Carbamazepine [Tegretol], Valproate [Depakene]).
8.
Diagnosa Keperawatan untuk PTSD
Diagnosa keperawatan yang mungkin
timbul akibat PTSD menurut Yosep (2011) dan Wilkinson (2005), yaitu: sindrom pasca
trauma, ansietas, ketidakberdayaan, potensial membahayakan diri/orang lain,
inefective koping, berduka. Tindakan keperawatan secara generalis menurut
Wilkinson (2005), yaitu:
a) Behavior
management: membantu klien mengurangi perilaku kasar atau tindakan memutilasi
diri sendiri;
b) Coping
enhancement: membantu pasien untuk beradaptasi terhadap stresor, perubahan yang
dirasakan, atau ancaman yang mengganggu untuk memenuhi tuntutan hidup dan
peran;
c) Counseling:
menggunakan proses bantuan interaktif yang memfokuskan pada kebutuhan, masalah
atau perasaan pasien, dan juga pada orang yang berarti bagi klien untuk
meningkatkan koping, pemecahan masalah dan hubungan interpersonal;
d) Financial
resources assistance: membantu individu dan keluarga untuk mengelola keuangan
sehingga memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan klien;
e) Impuls
control training: membantu pasien untuk mengatasi perilaku impulsif melalui
penerapan strategi pemecahan masalah untuk situasi sosial dan interpersonal;
f) Security
enhancement: meningkatkan rasa keamanan fisik dan psikologis klien;
g) Support
system enhancement: fasilitasi dukungan kepada klien melalui keluarga, teman
dan komunitas.
Menurut Yosep (2011), tindakan keperawatan pada
klien dengan PTSD, antara lain:
a) Diskusikan
persepsi klien tentang apa yang menyebabkan ansietas, bantu klien
mengidentifikasi perasaan yang dialami dan berfokus bagaimana kopingnya,
b) Anjurkan
klien untuk membuat tulisan tentang perasaannya, faktor yang mencetuskan,
perilaku yang berkaitan,
c) Bantu
klien untuk mengidentifikasi faktor jika mulai terjadi perasaan tidak berdaya
dan hilangnya pengendalian diri,
d) Gali
tindakan yang dapat digunakan klien selama periode stres (napas dalam,
berhitung sampai 10, meninjau situasi, menyusun ulang),
e) Tingkatkan
keterlibatan dalam program latihan/aktivitas dan olahraga,
f) Evaluasi
adanya destruktif diri atau perilaku bunuh diri,
g) Izinkan
klien mengekspresikan perasaan secara bebas,
h) Identifikasi
orang-orang yang dapat mendukung klien.
C. Masalah
psikososial lainnya
a. Ansietas
Menurut Heather dan Herdman (2015)
ansietas adalah perasaan tidak nyaman ataau kekhawatiran yang samar disertai
respon otonom (sumber sering kali tidak spesiik atau tidak diketahui oleh
individu) parasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.
Ciri-ciri ansietas menurut Heather dan
Herdman (2015) :
-
Gelisah
-
Kontak mata yang buruk
-
Melamun
-
Cenderung menyalahkan
orang lain
-
Melihat sesuatu hanya
sepintas
-
Gangguan konsentrasi
-
Mengekspresikan
kekhawatiran karena adanya perubahan dalam peristiwa hidup
-
Selalu merasa curiga
akan sesuatu
-
Tampak selalu waspada
-
Gugup
-
Kesedihan yang mendalam
-
Ketakutan akan hal-hal
mengerikan terjadi kembali
Perilaku ansietas pada pengungsi pra bencana biasanya berupa khawatir akan
adanya bencana susulan yang akan menimpa pengungsi, khawatir dengan pemenuhan kebutuhan hidup
saat berada di pengungsian, apakah sudah tercukupi, belum tercukupi, sudah
sesuai, atau bahkan sama sekali tidak sesuai antara bantuan yang diberikan
dengan yang dibutuhkan pengungsi, dan juga
khawatir tentang bagaimana kehidupan yang akan dijalani kedepan karena
kehilangan harta benda dan keluarga.
b. Kehilangan dan berduka
Kehilangan adalah suatu keadaan induvidu
berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidaak ada, baik
terjadi sebagian atau keseluruhan (Yosep, 2011)
Berduka adalah respon emosi yang
diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih,
gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan
respon normal pada semua kejadian kehilangan. (Heather dan Herdman, 2015)
Ciri-ciri kehilangan menurut
Gunarsa (1986):
-
Ungkapan kehilangan
-
Menangis
-
Gangguan tidur
-
Kehilangan nafsu makan
-
Sulit berkonsentrasi
Karakteristik berduka yang berkelanjutan:
-
Mengingkari kenyataan kehilngan terjadi dalam waktu yang
lama
-
Sedih berkepanjangan
-
Adanya gejala fisik yang berat
-
Keinginan untuk bunuh diri
Perilaku kehilangan dan berduka yang
biasanya dialami oleh pengungsi terjadi akibat kehilangan anggota keluarga,
kehilangan harta benda, atau juga kehilangan anggota tubuh dan peran.
c. HDR ( Harga Diri Rendah)
Harga
diri rendah menurut Heather dan Herdman (2015) adalh evaluasi diri/ perasaan
negatif tentang diri sendiri atauu kemampuan diri.
Ciri-ciri HDR :
-
Ekspresi rasa bersalah
-
Ekspresi rasa malu
-
Kegagalan hidup berulang
-
Bergantung pada pendapat orang lain
-
Melebih-lebihkan umpan balik negative tentang diri sendiri
-
Pasif
-
Meremehkan diri sendiri
-
Bimbang
HDR pada pengungsi biasanya terjadi karena kehilangan
orang-orang yang dianggap berarti dalam hidupnya, kehilangan harta benda, citra
tubuh, ataupun pergantian peran dengan yang sebelumnya.
d. Frustasi
Frustasi adalah keadaan yang tidak tertatasi dan tidak tercapainya suatu
pemuasan kebutuhan.
Ciri-ciri frustasi :
-
Ketegangan dan reaksi emosional
-
Kekesalan
-
Kedongkolan
-
Kecemasan
Frustasi pada pengungsi biasanya terjadi karena ada banyak stresor yang
mengganggu pengungsi yang mengakibatkan kekhawatiran hingga frustasi. Contohnya
seperti mereka khawatir dengan kondisi mereka dan kebutuhan mereka yang tidak
terpenuhi hingga mereka bingung akan memenuhinya dari mana. Akhirnya beberapa
ciri-ciri perilaku muncul seperti kekesalan dan kedongkolan.
e. Jenuh atau bosan
Kebosanan yang dialami oleh pengungsi bisa terjadi akibat peralihan
peran dan aktivitas. Contohnya Sebagian besar pengungsi yang
bermatapencaharian sebagai petani yang setiap hari terbiasa bekerja keras,
sementara yang terjadi di tempat pengungsian mereka hanya diam saja tanpa
berkegiatan, membuat mereka bosan. Karena bosan, mereka mudah tersulut api
konflik (Rusmiyati dan Hikmawati, 2016).
Daftar Pustaka
Endah Nawangsih.
(2014). Play Therapy untuk Anak-Anak Korban Bencana Alam Yang Mengalami Trauma
(Post Traumatic Stress Disorder/PTSD).Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi.
Volume 1(2): 164 – 178
Fatwa Tentama. (2014). Dukungan Sosial dan Post-Traumatic Stress Disorderpada
Remaja Penyintas Gunung Merapi. Jurnal
Psikologi Undip. Voume13(2):
133-138
Frida Nov
Kristina Gulo. (2015). Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada
Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias. Diakses pada
24 Oktober 2016 dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/47670/4/Chapter%20II.pdf
Gunarsa.S
dan Gunarsa.Y. Psikologi Keperawatan. Jakarta; BPK Gunung Mulia
Heather.T,
Herdman. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10.
Jakarta : EGC
Idrus,
M. F. (2016). Gangguan terkait dengan stres. Diakses pada 24 Oktober 2016,
dari:http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/Gangguan-Terkait-dengan-Stres.pdf
Nawangsih,
E. (2014). Play Therapy untuk anak-anak korban bencana alam yang mengalami
trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD). Psympathic, Jurnal Ilmiah
Psikologi, 1(2), 164-178.
Rusmiyati.
C dan Hikmawati. E. (2016). Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban
Bencana Merapi (Sosial Impact Of Psychological Treatment Merapi Disaster
Victims).