Senin, 31 Oktober 2016

Masalah Psikososial Pasca Bencana




PAPER
DISESTER NURSING
PERMASALAHAN PSIKOSOSIAL PADA PENGUNGSI
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah disester nursing kelas A15.1
Dosen Pembimbing : Dr. Meidiana Dwidiyanti, S.Kp., M.Sc


Disusun oleh :
Iffah Nur Amalia             22020115120022
Naela Zulfa                      22020115120025
Tiffani Erlita Sari             22020115130091
Verawati                           22020115130085


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
A. Gangguan Stress Akut
Gangguan Stres Akut (Acute Stress Disorder/ASD)  adalah sebuah kondisi psikologis yang timbul sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang mengerikan, hasil dari sebuah peristiwa traumatis   di   mana   seseorang   mengalami   atau   saksi   suatu   peristiwa   yang   menyebabkan korban/saksi untuk mengalami ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan kadang-kadang   rasa   sakit)   dan   yang   melibatkan   atau   mengancam   serius,   dirasakan   cedera   serius (biasanya kepada orang lain), atau   kematian. Gangguan stres akut adalah variasi dari  Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan adalah pikiran dan tubuh terhadap perasaan (baik yang dirasakan dan nyata) yang intens ketidakberdayaan (Idrus, 2016).
Beberapa peristiwa besar yang terjadi atau yang dialami dalam kehidupan seseorang, baik peristiwa yang me-nyenangkan maupun yang menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan, akan memberikan perubahan pada kehidupan individu sebagai akibat yang dialaminya. Perubahan-perubahan tersebut dapat me-nimbulkan stres. Stres yang dialami dapat menimbulkan adanya tekanan atau tuntutan yang dialami individu agar ia beradaptasi atau menyesuaikan diri. Stres berimplikasi secara luas pada masalah-masalah fisik maupun psikologis. Efek dari stres dapat menimbulkan gangguan penyesuaian yang menyangkut reaksi maladaptif terhadap stres. Pada gangguan penyesuaian, individu mempunyai kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan  stresor  dalam hidup. Kondisi tersebut dapat menimbulkan gangguan stres akut (acute stressdisorder/ASD). ASD adalah suatu reaksi maladaptif yang terjadi pada bulan pertama sesudah pengalaman traumatis. ASD penekanannya ada pada disosiasi, yaitu perasaan asing terhadap diri sendiri atau terhadap lingkungannya. Individu yang mengalami gangguan stres akut mungkin merasakan dunia ini seolah-olah sebagai suatu tempat dalam mimpi atau suatu tempat yang tidak nyata. Dalam gangguan stres akut (ASD), individu mungkin juga tidak dapat melaksanakan tugas-tugas yang perlu, seperti misalnya mendapatkan bantuan medis atau bantuan hukum yang diperlukan (Nevid, 2005 seperti dikutip dalam Nawangsih, 2014).
Kriteria diagnostik untuk gangguan stres akut (ASD) berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi traumatik sese-orang adalah sebagai berikut :
  1. Orang yang terpapar dengan suatu kejadian traumatik, dimana kedua dari ciri berikut ini dapat ditemukan, yaitu orang yang mengalami, menyaksikan atau dihadapkan dengan kejadian yang berupa ancaman kematian atau kema-tian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain, atau respon berupa rasa takut yang kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu dihantui perasaan  takut yang berlebihan.
  2. Merupakan salah satu keadaan dari ketika seseorang mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan, maka individu akan memiliki tiga atau lebih gejala diso-siatif yang berupa perasaan subyektif kaku, tidak ada responsivitas emosi, penurunan kesadaran sekelilingnya,derealisasi, depersonalisasi, amnesia disosiatif (tidak mampu mengingat aspek penting dari trauma).
  3. Kejadian traumatik yang secara ber-tahap dialami kembali dalam seku-rangnya salah satu dari trauma yang berupa bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang berulang-ulang atau suatu perasaan pengalaman hidup yang muncul kem-bali, pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengan pengingat kejadian traumatik.
  4. Penghindaraan pada stimuli yang me-nyadarkan rekoleksi trauma (pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tem-pat, orang).
  5. Gejala kecemasan yang nyata atau peningkatan kesadaran (kewaspadaan berlebihan, sulit tidur, iritabilitas, konsentrasi buruk dan kegelisahan motorik).
  6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, peker-jaan atau fungsi penting lain mengganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diper-lukan atau menggerakkan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman traumatik.
  7. Bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat (obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat.
Penatalaksanaan gangguan stress akut :
1.      Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi merupakan suatu jenis terapi yang menggunakan obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neurotransmiter disusunan syaraf pusat otak yakni sistem limbik. Sebagaimana diketahui sistem limbik merupakan bagian otak yang berfungsi mengatur alam pikiran, alam perasaan dan perilaku seseorang. Obat yang sering dipakai adalah obat anti cemas (axiolytic) golongan benzodiazepine seperti diazepam, lorazepam, alprazolam dan anti depresi (anti depressant) golongan SSRI seperti fluoxetine, sertraline (Zoloft).
2.      Psikoterapi
a)      Pendekatan perilaku
Pendekatan perilaku dilakukan dengan mengubah perilaku yang menimbulkan stress akut, toleransi atau adaptabilitas terhadap stress akut yang dialami, menyeimbangkan antara aktivitas fisik dan nutrisi, serta manajemen perencanaan, organisasi dan waktu.
b)      Pendekatan Kognitif
Pendekatan kognitif merupakan pendekatan yang bertujuan untuk mengubah pola pikir individu agar berpikir positif dan sikap yang positif, membekali diri dengan pengetahuan tentang stres, serta menyeimbangkan antara aktivitas otak kiri dan kanan. Pendekatan kognitif bisa juga dilakukan dengan menggunakan metode hipnoterapi.


c)      Metode Coping Stres
Menggunakan Teknik Relaksasi Relaksasi dilakukan dengan tujuan untuk melepaskan semua ketegangan-ketegangan yang selama ini dialami oleh individu. Relaksasi yang dilakukan bisa berupa relaksasi otot-otot, relaksasi kesadaran indra dan relaksasi pikiran-pikiran.
B.     PTSD
PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)
1.      Definisi PTSD
Gangguan stres pasca trauma atau disingkat dengan trauma psikologis merupakan istilah lain dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pada tahun 1980, untuk pertama kalinya ciri-ciri sindroma trauma psikologis yang dialami oleh para veteran perang Vietnam diterima sebagai suatu diagnosa oleh American Psychiatric Association dengan sebutan Post Traumatic Stress Disorder dan dimasukkan dalam buku pedoman gangguan mental Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM (Yule dkk., 1999; Parkinson, 2000; Nurrachman, 2002 dalam Sulistyaningsih, 2009).
Pengertian PTSD dapat dipahami dari definisi yang ditetapkan oleh National Center for Post Traumatic Stress Disorder (NCPTSD), yaitu suatu gangguan psikiatris yang terjadi setelah dialaminya peristiwa yang mengancam seperti menyaksikan kejadian-kejadian serangan militer, bencana alam, serangan teroris, kecelakaan serius, atau serangan kekerasan lainnya seperti pemerkosaan. Orang yang terkena gangguan PTSD sering mengalami kembali kejadian-kejadian melalui mimpi buruk atau bayangan kilas balik, sulit tidur, dan merasa terpisah atau terasing. Gejala-gejala ini dapat berlangsung lama serta bertambah berat sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari orang tersebut (Sulistyaningsih, 2009).
Menurut Zlonick dkk. (2001 dalam Chandra, 2009), Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. PTSD kemungkinan bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah pengalaman traumatis dan mungkin tidak muncul sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa traumatis (Nevid J dkk., 2002 dalam Chandra, 2009). Pengaruh trauma dan kejadian traumatik yang berkelanjutan yang dialami individu akan memicu terjadinya stress, sebab dalam suatu kejadian traumatik banyak terdapat stressor sebagai pemicu stress dan jika dialami berkepanjangan akan menimbulkan gangguan stress pasca-trauma merupakan reaksi berkepanjangan dari trauma yang dialami individu (Smet, 1994). Hasil surveyyang ada menunjukkan bahwa 20% individu yangmengalami peristiwa traumatik akan mengalami PTSD (van Etten & Taylor, 1998).
Hal serupa diungkapkan oleh Darmono S dkk. (2008 dalam Chandra, 2009) bahwa PTSD merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat yang sangat mengganggu kualitas hidup dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis atau menahun dan berkembang menjadi stres pasca trauma yang kompleks. Sadock & Sadock (2007), menyebutkan bahwa PTSD dapat berlangsung sampai dengan jangka waktu 30 tahun. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan, PTSD merupakan gangguan kejiwaan akibat mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis yang mengancam keselamatan hidup seseorang dimana gejalanya dapat berlangsung lama dan bertambah berat, sehingga berdampak pada kualitas hidup seseorang.
2.      Penyebab Terjadinya PTSD
Stresor atau peristiwa traumatik adalah penyebab utama dalam perkembangan Post Traumatic Stress Disorder (Schiraldi, 2000; Sadock & Sadock, 2007). Stresor ini dapat bersumber dari bencana alam atau peristiwa yang melibatkan peran manusia. Peristiwa yang bersumber dari bencana alam dapat berupa gempa bumi, banjir, badai, tanah longsor dan berbagai macam bencana alam lainnya. Sedangkan peristiwa kekerasan yang melibatkan peran manusia dan dapat menimbulkan trauma, yaitu perang, kejahatan politik, penculikan, kejahatan kriminal, pemerkosaan, kekejaman dalam rumah tangga dan berbagai bentuk kekejaman lainnya (Sulystyaningsih, 2009).
Menurut Sadock & Sadock (2007), tidak semua orang akan mengalami PTSD setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stresor diperlukan, namun stresor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Respon terhadap peristiwa traumatik harus melibatkan rasa takut intens atau horor. Selain itu, perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain yang sudah ada sebelumnya pada diri individu seperti, faktor biologis, faktor psikososial dan peristiwa yang dialami individu sebelum dan sesudah trauma.
a.       Psychodynamic factors.
Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk prilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan, super ego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatik tersebut. Id dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsif tidak terkendali (Yosep, 2011).
Menurut Sadock & Sadock (2007), faktor psikodinamika PTSD diantaranya, yaitu:
1) Peristiwa traumatik tersebut mengingatkan individu terhadap peristiwa traumatis  masa lalunya;
2)  Ketidakmampuan untuk meregulasi pengaruh yang disebabkan oleh trauma;
3)  Somatisasi dan alexithymia mungkin menjadi salah satu efek samping dari trauma;
4) Kurangnya kemampuan mekanisme pertahanan (penolakan, kurangnya pemecahan masalah, pengingkaran, disosiasi, dan rasa bersalah);
5) Keterhubungan/seberapa dekat hubungan antara pelaku kejadian trauma seperti penolong, pelaku dan korban.
b.   Cognitive-Behavioral factors.
Dari segi kognitif, orang-orang yang terkena dampak PTSD tidak dapat memproses atau merasionalisasikan kejadian trauma yang dialami. Mereka terus mengalami stres dan berusaha untuk menghindari sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Dari segi model perilaku (behavioral), PTSD menekankan dua fase dalam perkembangannya. Pertama, melalui classic conditioning dimana trauma/peristiwa traumatis menimbulkan respons ketakutan yang berpasangan dengan stimulus (pemandangan, bau, suara, tempat) yang berkaitan dengan peristiwa tersebut sehingga dapat memicu reaksi-reaksi fisiologis ataupun psikologis. Kedua, terjadi sebagai hasil pembelajaran dari kejadian trauma yang dialaminya dimana individu mengembangkan pola perilaku menghindar terhadap stimulus yang berkaitan dengan trauma (Sadock & Sadock, 2007).
c.       Biological factors.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pada beberapa penderita PTSD terjadi hiperaktivitas dari noradrenergic, endogenous opiate systems serta hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA). Selain itu, ditemukan adanya peningkatan aktivitas dan respons dari sistem saraf otonom seperti peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan gangguan tidur (Sadock & Sadock, 2007).
3.      Faktor Resiko PTSD
Ketika dihadapkan dengan trauma yang luar biasa, kebanyakan orang bisa saja tidak mengalami gejala PTSD. Namun sebaliknya peristiwa atau kejadian biasa dapat menimbulkan gejala PTSD pada sebagian besar orang. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor resiko yang berperan apakah seseorang akan mendapatkan PTSD atau tidak. Faktor-faktor resiko tersebut, yaitu: adanya trauma masa kecil, seseorang yang memiliki gangguan kepribadian (seperti: borderline, paranoid, ketergantungan atau anti-sosial), sistem dukungan dari keluarga atau teman sebaya yang tidak memadai, jenis kelamin: perempuan, kerentanan genetik terhadap penyakit jiwa, perubahan kehidupan yang penuh dengan stres/tekanan, persepsi locus of control eksternal dan asupan alkohol yang berlebihan (Sadock & Sadock, 2007).

4.      Gejala PTSD
Secara umum gejala-gejala yang sering dialami korban PTSD adalah sebagai berikut:
a.  Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, ada flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan
b. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan pengalaman traumatik atau mati rasa dalam responsivitas. Seseorang yang mengalami trauma menghindari untuk berpikir tentang trauma atau tentang stimulus yang mengingatkan pada kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif.
c. Ketegangan yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur atau mempertahankan tidur, mudah marah atau tidak dapat mengendalikan marah, sulit berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon kejut yang berlebihan atas segala sesuatu (Nevid,2005
Sedangkan kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatrauma (PTSD), berdasarkan Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorders III-Revised (DSM III-R), dapat memperlihatkan kondisi traumatik seseorang adalah sebagai berikut :
a. Orang yang mengalami peristiwa luar biasa, dan dirasa amat menekan semua orang. Peristiwa traumatik itu secara menetap dapat dialami melalui cara teringat kembali peristiwa secara berulang dan sangat mengganggu, mimpi yang berulang tentang peristiwa yang membebani pikiran, perasaan atau tindakan mendadak seolaholah peristiwa traumatik itu terjadi lagi, tekanan jiwa yang amant sangat karena terpaku pada peristiwa yang melambangkan atau menyerupai traumatiknya.
b. Pengelakan yang menetap terhadap rangsang yang terkait dengan trauma atau kelumpuhan yang bereaksi terhadap situasi umum (yang tidak ada sebelum trauma itu). Keadaan ini paling tidak dapat ditunjukkan dengan sedikitnya 3 (tiga) dari keadaan yang berupa: upaya untuk mengelak terhadap gagasan atau perasaan yang terkait dengan trauma itu, upaya untuk mengelak dari kegiatan atau situasi yang menimbulkan ingatan terhadap trauma itu, ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek yang penting dari trauma, minat yang sangat berkurang terhadap kegiatan yang penting, rasa terasing dari orang lain, kurangnya afeksi, dan merasa tidak mempunyai masa depan.
 c. Gejala meningginya kesiagaan yang menetap (tidak ada sebelum adanya trauma) dengan ditunjukkan oleh 2 (dua) dari gejala : sulit masuk fase tidur atau mempertahankan tidur yang cukup, iritable atau mudah marah, sulit berkonsetrasi, amat siaga, reaksi kejut (kaget) yang berlebihan, reaksi rentan faali saat menghadapi peristiwa yang melambangkan atau menyerupai aspek dari peristiwa traumatik.
d. Jangka waktu gangguan itu (gejala pada kriteria ke-2, ke-3 dan ke-4)  sedikitnya 1 bulan.


Gangguan PTSD yang dialami individu akan berdampak pula pada kehidupan sosial. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
a. Panic attack (serangan panik)
Khususnya pada anak atau remaja yang mempunyai pengalaman trau-matik dapat mengalami serangan panik ketika dihadapkan atau menghadapi pada sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak nyaman yang menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada, sakit perut, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
b. Perilaku menghindar
Salah satu gejala PTSD adalah menghindari halhal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis. Kadang-kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam kehidupannya setiap hari dengan trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah dialami. Hal ini sering menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut untuk keluar rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus ke luar rumah.
c. Depresi
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami peng-alaman traumatik dan menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Penderita mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri dan merasa bahwa peristiwa yang dialaminya merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.


d. Memiliki pemikiran negatif
Kadang-kadang orang yang sedang mengalami depresi merasakan bahwa kehidupannya sudah tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh diri.
e.    Merasa diri disisihkan
Penderita PTSD memerlukan dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan terpisah. Perasaan yang demikian tersebut, umumnya penderita mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan per-tolongan. Penderita sulit untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami apa yang ia telah alami.
f.    Merasa dirinya tidak percaya dan perasaan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan kepercayaan pada terhadap orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh lingkungan disekitarnya, atau oleh nasib, atau oleh Tuhan. Perasaan marah dan mudah tersinggung.
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma. Marah adalah suatu reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi dengan orang lain.
g.   Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari
Beberapa penderita PTSD mempunyai beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin menjadi sangat takut untuk ditinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat penting agar permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.

h.   Persepsi dan kepercayaan yang aneh
Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menyakitkan, seringkali untuk sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh, misalnya percaya bahwa dirinya bisa melihat atau berkomunikasi dengan orang-orang yang sudah meninggal. Walaupun gejala ini menakutkan, menyerupai halusinasi dan hayalan, gejala ini bersifat sementara dan dapat hilang dengan sendirinya.
5.      Kriteria Diagnosik PTSD
Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder, 4th edition Text Revision (DSM-IV-TR) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association, menjelaskan tanda dan gejala PTSD yang mencakup:
a. Individu harus pernah terpapar pada suatu stresor/peristiwa traumatik dimana kedua hal berikut dialami:
1) Seseorang yang mengalami, menyaksikan, atau menghadapi bahaya yang mengancam hidupnya, kematian, luka parah, atau ancaman serius bagi diri sendiri atau orang lain.
2) Respon individu meliputi ketakutan, ketidakberdayaan (catatan: pada anak-anak hal ini mungkin diperlihatkan dalam perilaku yang tidak teratur atau berantakan dan tidak tenang atau gelisah).
b. Mengalami kembali peristiwa traumatis (re-experiencing symptoms) melalui satu atau lebih gejala di bawah ini:
1) Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya yang bersifat mengganggu, berupa gambaran, pikiran, persepsi (catatan: pada anak-anak hal ini dimunculkan kembali pada permainan).
2) Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya (catatan: pada anak-anak terdapat mimpi yang menakutkan tanpa adanya isi yang dapat diketahui maksudnya).
3) Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang dialaminya terjadi kembali, ilusi, halusinasi) (catatan: pada anak-anak kejadian traumatis secara spesifik dapat terlihat).
4) Tekanan psikologis yang kuat jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang menyerupai kejadian traumatis.
5) Adanya reaksi fisik jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang menyerupai kejadian traumatis.
c.  Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan mematikan perasaan atau tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma masih berespon (avoidance symptoms). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:
1) Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma.
2) Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.
3) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang dialaminya.
4) Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang.
5) Merasa terasing dari orang di sekitarnya.
6) Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapat merasakan cinta)
7) Perasaan bahwa masa depannya suram (misalnya, berkurangnya harapan untuk dapat menjalani hidup dengan normal, menikah, memiliki karir, memiliki anak).
d. Gejala hiperarousal yang persisten (tidak ada sebelum trauma) meliputi dua atau lebih gejala di bawah ini:
1) Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempertahankannya.
2) Mudah marah dan meledak-ledak emosinya.
3) Sulit berkonsentrasi.
4) Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan).
5) Reaksi kaget yang berlebihan.
6. Jenis-Jenis PTSD                          
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) terbagi atas tiga jenis, yaitu:
a. PTSD akut, yaitu dimana tanda dan gejalanya terjadi pada rentang waktu 1-3 bulan. Namun, biasanya berakhir dalam kurun waktu satu bulan. Jika dalam waktu lebih dari satu bulan, individu tersebut harus segera menghubungi pelayanan kesehatan terdekat;
b.  PTSD kronik, yaitu dimana tanda dan gejalanya berlangsung lebih dari tiga bulan dan jika tidak ada treatment yang dilakukan maka dapat bertambah berat sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari orang tersebut;
c.  PTSD with delayed onset, walaupun sebenarnya tanda dan gejala PTSD muncul pada saat setelah trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya baru muncul minimal enam bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatik itu terjadi. Hal ini timbul pada saat memperingati hari kejadian traumatis tersebut atau bisa juga karena individu mengalami kejadian traumatis lain yang akan mengingatkan dia terhadap peristiwa traumatis masa lalunya (APA, 2000; Sadock & Sadock, 2007; Ross, 1999 dalam Erwina, 2010). 
7. Penanganan PTSD
  Penanganan bagi individu yang mengalami PTSD adalah psikoterapi, obatobatan atau kombinasi keduanya. Setiap individu berbeda, sehingga pengobatan yang bekerja untuk satu orang mungkin tidak bekerja bagi orang lain. Beberapa orang perlu mencoba melakukan perawatan yang berbeda untuk menemukan mana yang dapat mengurangi gejala yang dialami (NIMH, 2008). Psikoterapi merupakan suatu terapi “bicara” yang dilakukan oleh seorang profesional kesehatan mental untuk mengobati penyakit mental. Psikoterapi dapat dilakukan pada individu atau secara berkelompok yang biasanya berlangsung 6-12 minggu atau lebih.
Adanya dukungan dari keluarga maupun teman terdekat merupakan bagian penting selama terapi dilakukan. Salah satu bentuk psikoterapi yang dianggap lebih efektif untuk mengatasi PTSD, yaitu Cognitive Behavior Therapy (CBT) (NIMH, 2008). CBT merupakan suatu bentuk psikoterapi yang menekankan pentingnya peran pikiran yang dapat mempengaruhi alam perasaan dan perilaku individu (Sulystyaningsih, 2009). Bentuk-bentuk Cognitive Behavior Therapy (CBT), yaitu:
a. Exposure therapy, merupakan terapi yang membantu orang menghadapi dan mengendalikan rasa takut mereka. Bentuk terapi ini menggunakan imaginasi tentang trauma, menulis atau mengunjungi tempat dimana peristiwa itu terjadi yang disajikan secara hati-hati, berulang, dan terinci dalam situasi yang aman dan terkontrol;
b. Cognitive restructuring, merupakan terapi yang membantu orang memahami kenangan buruk. Terkadang mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD  30 melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis;
c. Stress inoculation training, merupakan terapi yang mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan mengajarkan cara mengontrol ketakutan dan kecemasan yang dialami, seperti mengajarkan teknik relaksasi (NIMH, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Catani pada tahun 2009 (dalam Tumanggor, 2013) pada anak-anak korban tsunami di Srilangka, menyebutkan exposure therapy dan meditation relaxation dapat dilakukan pada anak-anak dengan latar belakang bencana yang sama. Anak-anak yang terlibat dalam penelitian ini diajarkan dan dilatih meditasi-relaksasi dengan teknik pernapasan. Meditasi-relaksasi ini dapat dipraktekkan di rumah dengan dukungan orang tua.
Pilihan alternatif lain yang dapat dilakukan untuk mengobati anak-anak dengan PTSD, yaitu: mengajarkan strategi atau cara mengontrol kecemasan misalnya, relaksasi pernapasan, bermain peran, pendidikan dan beberapa teknik distraksi. Penelitian oleh Carrion dkk. tahun 2002 dan Scheeringa tahun 2006 (dalam Tumanggor, 2013), menyarankan psikoterapi juga diberikan untuk anakanak yang tidak memenuhi kriteria PTSD, namun mengindikasikan atau menunjukkan adanya gangguan dan penurunan fungsional. Hal ini penting untuk mencegah anak-anak mengembangkan gangguan tersebut menjadi lebih berat.
Untuk pengobatan atau psikofarmaka, menurut Sadock & Sadock (2007) dan NIMH (2008) ada beberapa jenis pengobatan yang dapat digunakan untuk penderita PTSD, yaitu:
a. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil), dianggap sebagai pengobatan lini pertama yang efektif untuk mengurangi gejala-gejala PTSD. Kedua obat ini merupakan anti-depresan yang juga digunakan untuk mengobati depresi. Efek samping yang mungkin ditimbulkan seperti sakit kepala, mual, sulit tidur dan agitasi;
b. Imipramin (Tofranil) dan Amitriptyline (Evavil), merupakan antidrepesant trisilik untuk pengobatan PTSD. Namun anti-depresan ini tidak merupakan pilihan utama karena memiliki banyak efek samping dibandingkan dengan anti-depresan lainnya;
c. Obat-obatan lain yang dapat digunakan, yaitu:  32 monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) (seperti Phenelzine [Nardil]), Trazodone (Dsyrel), dan anti-convulsants (seperti Carbamazepine [Tegretol], Valproate [Depakene]).
8. Diagnosa Keperawatan untuk PTSD
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul akibat PTSD menurut Yosep (2011) dan Wilkinson (2005), yaitu: sindrom pasca trauma, ansietas, ketidakberdayaan, potensial membahayakan diri/orang lain, inefective koping, berduka. Tindakan keperawatan secara generalis menurut Wilkinson (2005), yaitu:
a)      Behavior management: membantu klien mengurangi perilaku kasar atau tindakan memutilasi diri sendiri;
b)      Coping enhancement: membantu pasien untuk beradaptasi terhadap stresor, perubahan yang dirasakan, atau ancaman yang mengganggu untuk memenuhi tuntutan hidup dan peran;
c)      Counseling: menggunakan proses bantuan interaktif yang memfokuskan pada kebutuhan, masalah atau perasaan pasien, dan juga pada orang yang berarti bagi klien untuk meningkatkan koping, pemecahan masalah dan hubungan interpersonal;
d)     Financial resources assistance: membantu individu dan keluarga untuk mengelola keuangan sehingga memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan klien;
e)      Impuls control training: membantu pasien untuk mengatasi perilaku impulsif melalui penerapan strategi pemecahan masalah untuk situasi sosial dan interpersonal;
f)       Security enhancement: meningkatkan rasa keamanan fisik dan psikologis klien;
g)      Support system enhancement: fasilitasi dukungan kepada klien melalui keluarga, teman dan komunitas.
Menurut Yosep (2011), tindakan keperawatan pada klien dengan PTSD, antara lain:
a)      Diskusikan persepsi klien tentang apa yang menyebabkan ansietas, bantu klien mengidentifikasi perasaan yang dialami dan berfokus bagaimana kopingnya,
b)      Anjurkan klien untuk membuat tulisan tentang perasaannya, faktor yang mencetuskan, perilaku yang berkaitan,
c)      Bantu klien untuk mengidentifikasi faktor jika mulai terjadi perasaan tidak berdaya dan hilangnya pengendalian diri,
d)     Gali tindakan yang dapat digunakan klien selama periode stres (napas dalam, berhitung sampai 10, meninjau situasi, menyusun ulang),
e)      Tingkatkan keterlibatan dalam program latihan/aktivitas dan olahraga,
f)       Evaluasi adanya destruktif diri atau perilaku bunuh diri,
g)      Izinkan klien mengekspresikan perasaan secara bebas,
h)      Identifikasi orang-orang yang dapat mendukung klien.
C.     Masalah psikososial lainnya
a. Ansietas
Menurut Heather dan Herdman (2015) ansietas adalah perasaan tidak nyaman ataau kekhawatiran yang samar disertai respon otonom (sumber sering kali tidak spesiik atau tidak diketahui oleh individu) parasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.
Ciri-ciri ansietas menurut Heather dan Herdman (2015) :
-          Gelisah
-          Kontak mata yang buruk
-          Melamun
-          Cenderung menyalahkan orang lain
-          Melihat sesuatu hanya sepintas
-          Gangguan konsentrasi
-          Mengekspresikan kekhawatiran karena adanya perubahan dalam peristiwa hidup
-          Selalu merasa curiga akan sesuatu
-          Tampak selalu waspada
-          Gugup
-          Kesedihan yang mendalam
-          Ketakutan akan hal-hal mengerikan terjadi kembali
Perilaku ansietas pada pengungsi  pra bencana biasanya berupa khawatir akan adanya bencana susulan yang akan menimpa pengungsi,  khawatir dengan pemenuhan kebutuhan hidup saat berada di pengungsian, apakah sudah tercukupi, belum tercukupi, sudah sesuai, atau bahkan sama sekali tidak sesuai antara bantuan yang diberikan dengan yang dibutuhkan pengungsi, dan juga  khawatir tentang bagaimana kehidupan yang akan dijalani kedepan karena kehilangan harta benda dan keluarga.
b. Kehilangan dan berduka
Kehilangan adalah suatu keadaan induvidu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidaak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Yosep, 2011)
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. (Heather dan Herdman, 2015)

Ciri-ciri kehilangan menurut Gunarsa (1986):
-          Ungkapan kehilangan
-          Menangis
-          Gangguan tidur
-          Kehilangan nafsu makan
-          Sulit berkonsentrasi

Karakteristik  berduka  yang berkelanjutan:
-          Mengingkari kenyataan kehilngan terjadi dalam waktu yang lama
-          Sedih berkepanjangan
-          Adanya gejala fisik yang berat
-          Keinginan untuk bunuh diri

Perilaku kehilangan dan berduka yang biasanya dialami oleh pengungsi terjadi akibat kehilangan anggota keluarga, kehilangan harta benda, atau juga kehilangan anggota tubuh dan peran.
c. HDR ( Harga Diri Rendah)
Harga diri rendah menurut Heather dan Herdman (2015) adalh evaluasi diri/ perasaan negatif tentang diri sendiri atauu kemampuan diri.
Ciri-ciri HDR :
-       Ekspresi rasa bersalah
-       Ekspresi rasa malu
-       Kegagalan hidup berulang
-       Bergantung pada pendapat orang lain
-       Melebih-lebihkan umpan balik negative tentang diri sendiri
-       Pasif
-       Meremehkan diri sendiri
-       Bimbang
HDR pada pengungsi biasanya terjadi karena kehilangan orang-orang yang dianggap berarti dalam hidupnya, kehilangan harta benda, citra tubuh, ataupun pergantian peran dengan yang sebelumnya.
d. Frustasi
      Frustasi adalah keadaan yang tidak tertatasi dan tidak tercapainya suatu pemuasan kebutuhan.
Ciri-ciri frustasi :                                                           
-          Ketegangan dan reaksi emosional
-          Kekesalan
-          Kedongkolan
-          Kecemasan
     Frustasi pada pengungsi biasanya terjadi karena ada banyak stresor yang mengganggu pengungsi yang mengakibatkan kekhawatiran hingga frustasi. Contohnya seperti mereka khawatir dengan kondisi mereka dan kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi hingga mereka bingung akan memenuhinya dari mana. Akhirnya beberapa ciri-ciri perilaku muncul seperti kekesalan dan kedongkolan.
e. Jenuh atau bosan
     Kebosanan yang dialami oleh pengungsi bisa terjadi akibat peralihan peran dan aktivitas. Contohnya Sebagian besar pengungsi  yang bermatapencaharian sebagai petani yang setiap hari terbiasa bekerja keras, sementara yang terjadi di tempat pengungsian mereka hanya diam saja tanpa berkegiatan, membuat mereka bosan. Karena bosan, mereka mudah tersulut api konflik (Rusmiyati dan Hikmawati, 2016).

Daftar Pustaka

Endah Nawangsih. (2014). Play Therapy untuk Anak-Anak Korban Bencana Alam Yang Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD).Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi. Volume 1(2): 164 – 178
Fatwa Tentama. (2014). Dukungan Sosial dan Post-Traumatic Stress Disorderpada Remaja Penyintas Gunung Merapi. Jurnal Psikologi Undip. Voume13(2): 133-138
Frida Nov Kristina Gulo. (2015). Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias. Diakses pada 24 Oktober 2016 dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/47670/4/Chapter%20II.pdf
Gunarsa.S dan Gunarsa.Y. Psikologi Keperawatan. Jakarta; BPK Gunung Mulia
Heather.T, Herdman. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta : EGC
Idrus, M. F. (2016). Gangguan terkait dengan stres. Diakses pada 24 Oktober 2016, dari:http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/Gangguan-Terkait-dengan-Stres.pdf
Nawangsih, E. (2014). Play Therapy untuk anak-anak korban bencana alam yang mengalami trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD). Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(2), 164-178.

Rusmiyati. C dan Hikmawati. E. (2016). Penanganan Dampak Sosial Psikologis Korban Bencana Merapi (Sosial Impact Of Psychological Treatment Merapi Disaster Victims). 

1 komentar:

  1. Dafabet (formerly Sports Betting) Review 2021 | 100% Bonus up to ₹8000
    Dafabet is 제왕카지노 a great sports betting platform from one 다파벳 of the top betting ボンズ カジノ companies in the industry. The site is not only one of the top online bookmakers in the

    BalasHapus